Selasa, 29 Maret 2011

HAK PASIEN

Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya rumah sakit akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dari pihak rumah sakit diharapkan mampu memahami konsumennya secara keseluruhan agar dapat maju dan berkembang. Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit juga harus memperhatikan etika profesi tenaga yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Akan tetapi, tenaga profesional yang bekerja di rumah sakit dalam memberikan putusan secara profesional adalah mandiri. Putusan tersebut harus dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan moral yang tinggi sesuai dengan etika profesi masing-masing.
Oleh karena alasan tersebut, pelayanan kesehatan pada rumah sakit merupakan hal yang penting dan harus dijaga maupun ditingkatkan kualitasnya sesuai standar pelayanan yang berlaku agar masyarakat sebagai konsumen dapat merasakan pelayanan yang diberikan. Terdapat 3 (tiga) komponen yang terlibat dalam suatu proses pelayanan yaitu, pelayanan sangat ditentukan oleh kualitas pelayanan yang diberikan, siapa yang melakukan pelayanan, serta konsumen yang menilai suatu pelayanan melalui harapan yang diinginkannya.
Hal tersebut cukup rasiologis, mengingat pelayanan kesehatan rumah sakit hakikatnya diberikan melalui bentuk pengobatan dan perawatan. Petugas kesehatan, medis dan nonmedis, bertanggung jawab untuk memberi pelayanan yang optimal. Tenaga medis, dalam hal ini dokter, memiliki tanggung jawab terhadap pengobatan yang sedang dilakukan. Tindakan pengobatan dan penentuan kebutuhan dalam proses pengobatan merupakan wewenang dokter.
Ditinjau dari segi ilmu kemasyarakatan dalam hal ini hubungan antara dokter dengan pasien menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi yang dominan, sedangkan pasien hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa wewenang untuk melawan. Posisi demikian ini secara historis berlangsung selama bertahun-tahun, dimana dokter memegang peranan utama, baik karena pengetahuan dan keterampilan khusu yang ia miliki, maupun karena kewibawaan yang dibawa olehnya karena ia merupakan bagian kecil masyarakat yang semenjak bertahun-tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang dalam memberikan bantuan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien.
Si pasien selaku konsumen, yaitu diartikan “setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain”. Dan sudah merasa bahagia apabila kepadanya dituliskan secarik kertas. Dari resep tersebut secara implisit telah menunjukkan adanya pengakuan atas otoritas bidang ilmu yang dimiliki oleh dokter yang bersangkutan. Otoritas bidang ilmu yang timbul dan kepercayaan sepenuhnya dari pasien ini disebabkan karena ketidaktahuan pasien mengenai apa yang dideritanya, dan obat apa yang diperlukan, dan di sini hanya dokterlah yang tahu, ditambah lagi dengan suasana yang serba tertutup dan rahasia yang meliputi jabatan dokter tersebut yang dijamin oleh kode etik kedokteran. Kedudukan yang demikian tadi semakin bertambah kuat karena ditambah dengan faktor masih langkanya jumlah tenaga dokter, sehingga kedudukannya merupakan suatu monopoli baginya dalam memberikan pelayanan pemeliharaan kesehatan. Lebih-lebih lagi karena pelayanan kesehatan ini lebih bersifat psikologis oleh pihak-pihak yang saling mengikatkan diri tidak berkedudukan sederajat. Oleh sebab itu tenaga kesehatan yang diberikan kepercayaan penuh oleh pasien, haruslah memperhatikan baik buruknya tindakan dan selalu berhati-hati di dalam melaksanakan tindakan medis.
Apa yang telah dilakukan oleh sebagian rumah sakit umum swasta primer cukup memberikan harapan besar. Suatu konsekuensi logis, bahwa keselamatan dan perkembangan kesehatan pasien merupakan landasan mutlak bagi rumah sakit khususnya dokter atau tenaga medis lainnya dalam menjalankan praktik profesinya. Seorang dokter harus melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya.
Meski demikian, dari tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu kesalahan ataupun kelalaian. Kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap badan maupun jiwa dari pasiennya, dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak pasien. Dari kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan terhadap pasien, menimbulkan pertanyaan, yaitu: Dapatkah pasien yang dirugikan menuntut ganti rugi?, Siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa pasien?, Dan upaya hukum apa yang dapat ditempuh pasien dalam memperoleh perlindungan hukum?
Hal pertama yang perlu diketahui adalah, bahwa untuk menciptakan perlindungan hukum bagi pasien maka para pihak harus memahami hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya, termasuk pemberi jasa pelayanan kesehatan agar bertanggung jawab terhadap profesi yang diberikan kepada penerima jasa pelayanan kesehatan.
Rumah sakit menjamin perlindungan hukum bagi dokter/tenaga kesehatan agar tidak menimbulkan kesalahan medik dalam menangani pasien, sekaligus pasien mendapatkan perlindungan hukum dari suatu tanggung jawab rumah sakit dan dokter/tenaga kesehatan.
Peran dan fungsi rumah sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan medis yang profesional akan erat kaitannya dengan 3 (tiga) unsur, yaitu yang terdiri dari: 1). Unsur mutu yang dijamin kualitasnya; 2). Unsur keuntungan atau manfaat yang terjamin dalam mutu pelayanan; dan 3). Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan atau medik khususnya.
Dalam hal ini, dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu memahami adanya landasan hukum dalam transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien (kontrak-terapeutik), mengetahui dan memahami hak dan kewajiban pasien serta hak dan kewajiban dokter dan adanya wajib simpan rahasia kedokteran, rahasia jabatan dan pekerjaan.
Memiliki pengetahuan yang baik tentang standar pelayanan medik dan standar profesi medik, pemahaman tentang malpraktik medik, penanganan penderita gawat darurat, rekam medis, euthanasia dan lain-lain adalah pengetahuan masa kini yang perlu untuk didalami secara profesional. Agar tidak terjadi tindakan medik yang menimbulkan kesalahan dan atau kelalaian dari dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit, yang akan menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan.
Dinamika kehidupan masyarakat juga berlangsung pada aspek kesehatan, sehingga kadang muncul kelalaian dan terbengkalainya hak dan kewajiban antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan. Kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, dapat dituntut secara pidana apabila memenuhi unsur-unsur pidana, dalam hukum pidana dikenal kata “schuld” yang mengandung selain dari dolus dan kesalahan dalam arti yang lebih sempit adalah culpa, merupakan unsur esensial dalam suatu tindakan pidana agar dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.
Hak pasien adalah mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang diterima tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat menyampaikan keluhannya kepada pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan intern rumah sakit dalam pelayanannya atau kepada lembaga yang memberi perhatian kepada konsumen kesehatan. Sebagai dasar hukum dari gugatan pasien atau konsumen/penerima jasa pelayanan kesehatan terhadap dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit terdapat dalam pasal 1365 KUH Perdata. Rumah sakit berkewajiban untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan ukuran atau standar perawatan kesehatan.
Keluarga pasien dapat melayangkan gugatan terhadap Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), pengadilan dan terhadap pihak yang terkait, karena merasa dirugikan dan diperlakukan tidak manusiawi. Mereka dapat menggugat ganti rugi kepada pihak dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit karena telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan menimbulkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian/kesalahan dalam melakukan tindakan medik.
Berdasarkan alasan tersebut, maka dibutuhkan perlindungan hukum bagi pasien (penerima jasa pelayanan kesehatan), yang senantiasa diabaikan haknya untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan memberikan perlindungan hukum, baik kepada pasien sebagai penerima (konsumen) jasa pelayanan kesehatan dan pemberi (produsen) jasa pelayanan kesehatan, diantaranya pada pasal 53, 54, dan 55. Selain itu, karena kedudukan pasien adalah sebagai konsumen jasa, maka ia juga mendapatkan perlindungan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sehingga, jika terjadi sengketa antara para pihak dalam pelayanan kesehatan, maka untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan harus mengacu pada Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta prosesnya melalui lembaga pengadilan, mediasi.
Profesi kedokteran memang banyak berkaitan dengan problematika etik yang dapat berpotensi menimbulkan sengketa medik antara pemberi jasa pelayanan kesehatan dengan penerima jasa pelayanan kesehatan, karena itu dibutuhkan suatu wadah/lembaga yang khusus dapat menjadi penyaring untuk menyelesaikan sengketa antara pemberi jasa pelayanan kesehatan (rumah sakit, dokter dan tenaga kesehatan) dan penerima jasa pelayanan kesehatan (pasien).
Apa yang diuraikan tersebut terkait dengan permasalahan perlindungan hukum bagi pasien selaku konsumen jasa pelayanan medis cukuplah dipahami. Mengingat dewasa ini banyak sekali kasus gugatan atau tuntutan hukum kepada dokter, tenaga medis lain, dan atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik atau kelalaian medik. Satu kasus misalnya, dugaan malpraktik menimpa Augustianne  Sinta Dame Marbun. Dugaannya lantaran dokter salah mendiagnosis dengan memberikan antibiotik berdosis tinggi terkait dengan rencana operasi pengangkatan rahim, akibatnya ginjal istri advokat Hotman Paris Hutapea itu mengalami kerusakan. Kasus lain menimpa Nina, yang didiagnosis menderita usus buntu, tetapi akibat salah mendiagnosis setelah dilakukan operasi menyebabkan gadis ini mengalami kelumpuhan permanen.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik pelayanan medis tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis, dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pasien seperti alat bedah tertinggal di dalam bagian tubuh, dan faktor-faktor lainnya. 



  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.